“Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.” Kalimat yang termaktub Pasal 31 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 itu mewajibkan penyelenggara negara untuk membuka seluas-luasnya akses pendidikan terhadap rakyat, tanpa terkecuali anak-anak.
Sebab sebagai salah satu hak dasar, pendidikan berperan penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Sekaligus mencetak sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas.
Namun fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya. Belum semua anak berkesempatan mengenyam pendidikan formal, lantaran berbagai faktor.
Persoalan ini juga terjadi di Solo, di mana 1.991 anak usia sekolah saat ini diketahui tercatat sebagai siswa-siswi lembaga pendidikan manapun. Data itu dipaparkan Pemkot Surakarta dalam Rapat Koordinasi (Rakor) Gerakan Kembali Bersekolah di Balai Tawangarum, Jumat (28/2), kepada perwakilan berbagai instansi dan perangkat wilayah yang terkait dengan program penanggulangan kemiskinan.
“Ada total 1.519 anak usia sekolah yang putus sekolah (drop out), serta 472 anak usia sekolah yang sama sekali belum pernah mengenyam pendidikan,” ungkap Kepala Bidang (Kabid) Sosial Budaya Pemerintahan Badan Perencanaan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bappeda) Sumilir Wijayanti.
Angka anak-anak kurang beruntung tersebut, imbuh Sumilir, didapat Pemkot selesai memutakhirkan data Sistem Informasi Kesejahteraan Elektronik (E-SIK) 2019. “Ada beberapa faktor yang memicu mereka belum bersekolah, misalnya kendala biaya dan minimnya kemampuan orang tua akibat pendidikan yang rendah. Masalah ini saling berkesinambungan antara pendidikan, kesejahteraan, dan faktor ekonomi,” imbuh Kepala Bappeda, Tulus Widajat.
Bagi Pemkot, hal ini merupakan sebuah masalah. Tulus menekankan, keberadaan anak yang putus sekolah maupun belum pernah bersekolah, harus diselesaikan karena menjadi salah satu indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM) daerah. Fakta itu juga bertentangan dengan predikat Solo sebagai Kota Layak Anak (KLA).
“Meskipun IPM kita masih paling tinggi dibanding wilayah lain se-Subosukowonosraten, nomor tiga se-Jateng dan di atas rata-rata nasional,” tandasnya.
Berbagai strategi pun disusun, demi mengembalikan hak anak-anak tersebut terhadap akses pendidikan. Para pemangku kepentingan terkait dilibatkan, guna bergotong-royong menangani masalah tersebut. Mulai Dinas Pendidikan, Dinas Sosial, Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Pemberdayaan Masyarakat (DP3APM), Tim Penanggulangan Kemiskinan Kelurahan (TPKK), Kelompok Kerja (Pokja) Kota Layak Anak (KLA), Forum Anak Surakarta (FAS), hingga tokoh masyarakat di seluruh kelurahan.
“Harapannya bisa dibangun pemahaman bersama akan pentingnya pendidikan bagi seluruh anak usia sekolah. Kerjasama dan gotong-royong ini diarahkan agar bisa menjangkau dan menangani anak-anak putus sekolah atau belum pernah sekolah itu,” papar Sumilir.
Target dari kolaborasi berbagai pihak itu lantas dipatok Pemkot. “Sebentar lagi momentum tahun ajaran baru. Anak-anak yang masih bisa kembali ke sekolah formal, diharapkan bisa bersekolah lagi saat itu. Lainnya mungkin diupayakan prograk kejar paket, pendidikan ke Sekolah Luar Biasa (SLB) bagi yang membutuhkan, pemberian jaminan perlindungan sosial seperti Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP), atau program lain,” urai Sumilir.
Target itu bukan mengada-ada. Merujuk pengalaman sebelumnya saat menemukan kasus serupa berdasarkan data kemiskinan 2016, Pemkot berhasil mengembalikan hak pendidikan bagi 1.075 anak dari 3.600 anak putus atau belum sekolah. Selebihnya diikutsertakan dalam kejar paket atau jaminan perlindungan sosial lainnya.
“Kami berharap pembagian peran dan tugas ini bisa disinergikan. Dalam periode waktu tertentu, akan ditindaklanjuti dengan rakor teknis dan evaluasi. Data anak sudah tersedia by name by adress, berikut alamat, nama orang tua dan jenjang pendidikan terakhir mereka bagi anak drop out.”
Tulus menegaskan, pengembalian hak pendidikan bagi ribuan anak usia sekolah tersebut penting guna memutus mata rantai kemiskinan di Kota Bengawan. “Masalah ini seperti lingkaran setan, jadi semua simpulnya harus diputus sebisa mungkin. Tidak harus dimulai dari intervensi kesehatan, ekonomi atau pendidikan saja, tapi sebisa mungkin semua intervensi yang mereka butuhkan dan mampu ditangani Pemkot. Harapannya status KLA bisa benar-benar sempurna dan Pemkot bisa menyiapkan SDM berkualitas demi terjaminnya kehidupan yang layak bagi masyarakat di kemudian hari,” urai dia. (**)