Sebagai Kota Budaya, beragam pagelaran seni pertunjukan senantiasa mewarnai hari-hari warga Solo. Mulai event berskala kelurahan, kota hingga pentas kesenian bertaraf internasional.
Dalam paradigma kota kreatif, seni pertunjukan ternyata lebih dari sekadar pentas nan menghibur khalayak sekaligus upaya nguri-uri kebudayaan adiluhung. Kegiatan itu harus bisa memantik dampak positif bagi kehidupan masyarakat, terutama aktivitas ekonomi.
“Jadi kalau dikaitkan, seni pertunjukan sebagai salah satu subsektor ekonomi kreatif, harus bisa mengungkit subsektor lainnya seperti craft atau kriya dan kuliner. Dan sejauh ini, hal itu bisa berjalan ketika wisatawan datang ke Solo dan tinggal di hotel berbintang, mereka kami suguhi berbagai seni pertunjukan. Lantas usaha kuliner dan oleh-oleh kerajinan tangan ikut terangkat,” ungkap Kepala Bidang (Kabid) Ekonomi Badan Perencanaan Penelitian dan Pengembangan Daerah, Fransisco Amaral.
Alhasil sejak 2015, pengembangan seni pertunjukan bak memiliki arah baru. “Tidak sebatas mengembangkan warisan budaya, namun dalam kacamata ekraf (ekonomi kreatif) harus punya nilai jual.”
Jika ditilik, setidaknya pengalokasian dana stimulan APBD bagi penyelenggaraan event budaya, pembangunan sentra industri kecil dan menengah (IKM) di Kecamatan Pasarkliwon, hingga pembagian seperangkat gamelan kepada kelurahan dan sekolah negeri, disebut Fransisco sebagai usaha Pemkot dalam mengangkat pamor seni pertunjukan. Tidak ketinggalan menginterasikan upaya pelestarian budaya dan potensi ekonomi di dalamnya, agar lebih bermanfaat bagi masyarakat.
Kini, seluruh usaha Pemkot itu diakui pemerintah pusat. Pada 18 Juni, Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) mendapuk Solo sebagai salah satu dari 10 Kabupaten/Kota Kreatif (KaTa Kreatif) 2019.
“Ini bisa dikatakan sebuah pengakuan dari pemerintah pusat, bahwa pengelolaan seni pertunjukan di Kota Solo memang benar-benar menghidupkan sektor ekonomi masyarakat,” tandas Fransisco.
Pengakuan itu layak diterima Pemkot, mengingat predikat sebagai Kota Kreatif 2019 hadir melalui proses panjang. “Bekraf sudah melakukan monitoring dan evaluasi (monev) sejak 2016 melalui program Penilaian Mandiri Kabupaten/Kota Kreatif Indonesia (PMK3I). Kemudian disusul assessment dan uji petik pada 2017,” tutur Fransisco.
Hasil uji petik itu lantas disambung dengan monev sejak awal 2019. Pemkot pun mengimbangi rangkaian penilaian itu dengan memasukkan tak kurang 60 kegiatan budaya mulai tingkat kelurahan hingga internasional dalam calendar event tahunan selama 2018-2019.
“Penilaian 2019 dilakukan dengan menyebarkan form, untuk diisi oleh Pemkot selaku unsur pemerintah, serta stakeholder terkait lain. Yaitu akademisi, pelaku bisnis, dan komunitas.”
Hasil pengisian formulir itu, menurut Fransisco, sungguh membanggakan. “Seluruh ekosistem kesenian di Solo terbukti aktif. Jadi pengembangan seni pertunjukan sebagai subsektor ekonomi kreatif ini tidak hanya dilakukan pemerintah semata. Melainkan didukung stakeholder lain yang dikenal dalam konsep ABCG (academic, business, community dan goverment),” beber dia.
Pengakuan pemerintah pusat itu tidak sebatas gagah-gagahan. Betapapun, Solo tetap membutuhkan justifikasi sebagai Kota Budaya dengan segenap potensi kesenian dan pariwisata yang dimilikinya.
“Harus diingat, Solo minim sumber daya alam (SDA). Jadi mau tidak mau kita harus mengembangkan kreativitas. Solo terbukti kaya akan potensi sumber daya manusia (SDM). Kreativitas SDM itulah yang harus bisa menghidupkan kota,” tandas Fransisco.
Karenanya, tidak mengherankan manakala penghargaan Bekraf itu tidak menjadikan Pemkot jemawa. Diiringi peningkatan kualitas seni pertunjukan dan potensi ekonomi kreatif lainnya, Pemkot tetap memburu pengakuan sebagai kota kreatif lainnya.
“Pemkot direkomendasikan Komisi Nasional Indonesia Untuk Unesco Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (KNIU Kemdikbud), untuk tergabung dalam Unesco Creative City Network (UCCN) atau Jaringan Kota Kreatif Unesco. Kategorinya city of craft and folk art (kota kerajinan dan kesenian rakyat),” kata Sekretaris Daerah (Sekda) Ahyani.
Lagi-lagi, jika bisa tergabung dalam UCCN menyusul Bandung dan Pekalongan, citra Solo sebagai kota kerajinan dan kesenian rakyat jelas kian kental.
“Popularitas Solo di mata internasional tentu bisa mendorong kemajuan kota. Branding atau citra itu akan memicu investasi dan kunjungan wisatawan. Tentunya kegiatan-kegiatan budaya kian terkenal, seiring image tersebut,” tegas Sekda. (**)