Kereta api uap wisata Jaladara telah lama menjadi andalan Pemkot Surakarta, untuk menarik minat wisatawan berkunjung ke Kota Bengawan. Menyuguhkan nostalgia melalui city tour menyusuri rel peninggalan Belanda yang membelah pusat kota, wisata sepur kluthuk itu terbukti disukai turis mancanegara atau biro jasa penyelenggara perjalanan wisata.
Terdiri dari sebuah lokomotif kuno berusia 124 tahun dan dua gerbong kayu, Jaladara melayani perjalanan pulang pergi (PP) dari Stasiun Solo Purwosari hingga Stasiun Solo Kota. Biasanya kereta api itu singgah di Loji Gandrung (rumah dinas Wali Kota) atau kawasan Gladag, agar para penumpangnya bisa menikmati panorama yang terhampar di sekitar lokasi pemberhentian.
Namun usia memang tak bisa berbohong. Seiring berjalannya waktu, kemampuan lokomotif Jaladara pun kian menurun. Perawatan demi perawatan semakin kerap dijalani lokomotif berseri C1218 tersebut, agar tetap bisa dioperasionalkan sesuai peruntukkannya.
Jika sudah masuk ruang perawatan, otomatis pelayanan wisata tersebut terhenti. “Padahal jumlah trip kereta Jaladara dalam setahun adalah 80 kali,” kata Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Hari Prihatno.
Untungnya, problem penurunan performa lokomotif Jaladara kini mulai terurai. Sebuah lokomotif kuno telah tiba di Stasiun Solo Purwosari pada Kamis (6/2), usai didatangkan dari Balai Yasa Yogyakarta.
Kedatangan lokomotif bernomor lambung D1410 tersebut, seolah menjadi salah satu pencapaian penting dari serangkaian usaha Pemkot untuk menyediakan lokomotif cadangan bagi Jaladara, yang sudah dimulai sejak 2016.
“Lokomotif uap ini terakhir beroperasi di wilayah Jawa Barat, sebelum akhirnya disimpan di kompleks Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Diproduksi di Jerman pada 1921 dan terakhir beroperasi pada 1958,” ungkap Kepala PT Kereta Api Indonesia (KAI) Daop 6 Yogyakarta, Eko Purwanto.
Sejak April-November 2019, lokomotif uap produksi Jerman tersebut direstorasi petugas di Balai Yasa dengan anggaran sekitar Rp 2 miliar. Saking kunonya, tidak sedikit suku cadang yang terpaksa dikanibal dari lokomotif uap lain atau dipesankan secara khusus ke beberapa tempat. Sebab, kata Eko, produsen lokomotif tersebut tidak lagi mengeluarkan onderdil yang diperlukan dalam proses restorasi.
“Sekitar dua minggu lalu sudah diujicoba di Balai Yasa. Sekarang sudah bisa beroperasi.”
Koordinator Tim Restorasi Balai Yasa Yogyakarta, Suharyanto, mengimbuhkan bahwa lokomotif yang bisa melaju dengan bakar batu bara atau kayu jati itu mampu menarik empat gerbong penumpang. “Kalau dijalankan setiap hari malah lebih bagus. Tapi tetap ada batasannya karena operasionalnya di dalam kota,” tegasnya.
Tak hanya itu, lokomotif berwarna dominan hitam tersebut juga diyakini lebih kuat dibanding lokomotif Jaladara. Maklum dari segi usia, lokomotif Jaladara memang lebih tua. Jika dikalkulasi umur lokomotif Jaladara lebih tua 27 tahun dari “sang adik”.
Yang jelas, sekarang lokomotif Jaladara tak lagi sendirian. Sebab “sang adik” yang belum diberi nama itu siap menemaninya, mengantarkan para wisatawan menikmati keindahan berbagai tempat di Kota Bengawan.
“Lokomotif ini akan digunakan bergantian dengan lokomotif Jaladara. Mungkin juga bisa dioperasikan jika rencana perpanjangan rute kereta api uap wisata hingga Wonogiri terealisasi,” beber Hari.
Jadwal pemeliharaan Jaladara pun lebih mudah disusun. Sebab Pemkot sudah memiliki lokomotif pengganti agar jadwal piknik wisatawan tidak terganggu. Kemungkinan menambah jumlah perjalanan sepur kluthuk ikut terbuka, lantaran lokomotif tambahan itu lebih kuat dibanding lokomotif Jaladara.
Opsi pengembangan wisata sepur kluthuk pun kian bervariasi, karena Pemkot akan menerima gerbong inspeksi dan gerbong pertemuan (meeting) dari PT KAI dalam waktu dekat. Yang pasti, menurut Hari, lokomotif baru itu sudah disiapkan menjadi salah satu penyemarak perayaan Hari Jadi Kota Solo ke-275 pada bulan ini. (**)